Senin, 05 November 2012

Sepotong Legenda dari Pewayangan : Dewi Kunti

Pembahasan kali ini erat kaitannya dengan budaya Indonesia: WAYANG. Siapa yang tak kenal wayang. Jenisnya bermacam-macam, wayang golek, wayang orang, wayang kulit, & lain sebagainya. Namun, walaupun latar, tokoh, plot cerita, & jenisnya berbeda-beda, inti dari pendalangan setiap tokoh wayang adalah selalu menyampaikan pengajaran tentang kehidupan & sifat-sifat manusia melalui lakon ceritanya. Salah satu tokoh yang saya kutip di bawah ini adalah Dewi Kunti. Selamat menyimak :)

Dewi Kunti kecil bernama Pritha, bersaudara dengan Basudewa dan Ugrasena, akan tetapi kemudian dijadikan anak angkat oleh Prabu Kuntibhoja yang bijaksana. Dewi Kunti seorang putri berbudi pekerti luhur, berbakti kepada kedua orang tuanya, serta penuh kasih terhadap sesama. Pada suatu ketika, ada seorang pendeta bernama Resi Durwasa mengunjungi Prabu Kuntibhoja. Resi itu baru saja mengakhiri tapa bratanya dan datang ke istana untuk minta makan. Dewi Kunti menyediakan berbagai jenis makanan yang lezat bagi tamunya tersebut. Sang Resi Durwasa tersentuh oleh ketulusan sang puteri raja dan diberilah dia Mantra Aji Gineng, Aditya Hrdaya. Mantra tersebut dapat dipergunakan untuk mendatangkan Dewa. Anugerah mantra yang diberikan kepada Dewi Kunti tersebut nantinya akan menyelamatkan kelangsungan Dinasti Bharata.


Dewi Kunti
Sebagai seorang remaja, keingintahuan Dewi Kunti teramat besar. Dewi Kunti ingin tahu keampuhan mantra yang dihadiahkan kepadanya. Dewi Kunti memperhatikan Sang Surya, dan dia paham bahwa semua makhluk di bumi hanya hidup berkat adanya Sang Surya. Tanpa adanya Sang Surya, semua makhluk di bumi ini akan punah. Dewi Kunti merapal mantra pemberian Resi Durwasa dan mengakses kekuatan matahari, dan dia kaget dengan hasilnya, ternyata rahimnya diberkahi seorang putra dari Sang Surya. Sebagai seorang ibu dadakan, Dewi Kunti berada dalam dilema, memilih menjaga nama baik kerajaan dan orang tuanya atau memelihara Sang Putra.

Atas petunjuk Hyang Widhi, bayi tersebut bisa dilahirkan tanpa bekas, dan dikisahkan oleh para leluhur lahir melalui telinga. Dewi Kunti meletakkan bayinya di dalam keranjang, dilarung, dibiarkan mengikuti arus Sungai Gangga. Petunjuk selanjutnya didengarnya lewat hati nurani, 
"Kau harus mempersiapkan mental dan syaraf-syarafmu, kau akan mengalami penderitaan yang luar biasa akibat tindakanmu. Akan tetapi kau tidak akan sendiri, kau akan ditemani putra-putramu dalam menyelesaikan hutang piutang karma. Sebuah grup karma dalam keluarga. Pakailah pikiran jernih! Bersama putra-putramu nanti kau akan dipandu salah seorang keponakanmu, yang menjadi titisan Batara Wisnu, sejatinya dia juga yang menjadi pikiran jernih dalam jiwamu.." 
Suami Dewi Kunti adalah Raja Pandu yang saleh. Walaupun demikian, Pandu mempunyai kelemahan, karena kesalahannya, dia dikutuk akan mati bila berhubungan suami istri dengan pasangannya. Dewi Kunti tetap tabah menerima masalah yang dihadapi keluarganya, dia sadar bahwa apa yang dihadapi dalam hidup ini adalah akibat dari perbuatannya di masa lalu. Melihat Pandu yang sakit-sakitan, agar keluarganya semakin berantakan dan sakitnya semakin parah, maka Patih Shakuni meminta Bhisma supaya menyarankan Pandu untuk menikahi Dewi Madri dengan alasan agar Pandu segera memiliki putra mahkota. Menyadari konspirasi Shakuni, Kunti menyampaikan kepada Pandu pentingnya sang suami mempunyai putra penerus keturunan. Dewi Kunti menyampaikan pula bahwa dia mempunyai mantra hadiah Resi Durwasa untuk mendapatkan putra tanpa berhubungan suami istri.



Dengan persetujuan Pandu, Dewi Kunti mengheningkan cipta, menutup sembilan pintu gerbang pada dirinya, membaca mantra, membayangkan Dewa Yama, simbol kekuatan untuk menghidup-matikan makhluk; membayangkan Dewa Bayu, simbol kekuatan untuk menyingkirkan kotoran-kotoran dunia; dan membayangkan Dewa Indra, simbol kekuatan untuk memberikan anugerah alam. Akhirnya, lahirlah Yudistira, Bhima dan Arjuna. Melihat kesedihan madunya Dewi Madri yang juga tidak berputra, atas persetujuan Pandu, Dewi Madri juga diajari merapal mantra Aji Gineng, Aditya Hrdaya. Yang dibayangkan oleh Dewi Madri adalah Dewa Aswin kembar, simbol kekuatan untuk kemitraan dan kesetiaan, dan lahirlah Nakula dan Sadewa. Ketika Pandu meninggal, sebagaimana tradisi pada saat itu, Dewi Kunti siap mengikuti Sang Suami untuk diperabukan. Akan tetapi, Dewi Madri, memohon penuh iba, biarlah Dewi Madri saja yang ikut diperabukan, Dewi Kunti diminta membesarkan kelima putra-putra bersama mereka.

Dalam peristiwa pembakaran istana kayu di Waranawata, Kunti bersama Pandawa selamat dari kobaran api dan melanjutkan pengembaraan di hutan. Saat mereka sampai di daerah negeri Eka Chakra, mereka mendengar ada raksasa serakah Bakasura yang setiap hari minta disediakan makanan lembu se gerobak penuh dan dua buah kerbau. Setelah beberapa lama bahkan pengantarnya pun disantapnya. Ketika masyarakat bingung siapa yang akan mengantar makanan hari itu, Dewi Kunti mengatakan agar anaknya Bhima yang akan melakukannya. Hanya seorang ibu yang percaya kepada anaknya dan juga penuh kasih terhadap sesama yang dapat melakukan hal demikian. Raksasa Bakasura akhirnya mati dibunuh oleh Bhima.

Dalam pengembaraan mereka juga bertemu dengan raksasa Harimba. Harimba adalah seorang Raja di wilayah Nusantara yang sedang bepergian dengan adiknya Harimbi untuk menemui Raja Jarasandha. Harimba dapat dikalahkan oleh Bhima, akan tetapi adiknya Harimbi jatuh hati kepada Bhima. Harimbi adalah seorang yang jujur, setia, tegas akan tetapi memiliki kelembutan yang cocok sebagai pasangan Bhima. Dewi Kunti tahu persis karakter dan paham bahwa Harimbi adalah putri yang tepat untuk mendampingi Bhima. Akan tetapi Bhima sulit menerima Harimbi yang berwajah raksasa. Dengan kesaktian Dewi Kunti, Harimbi diberi mantra sehingga hasilnya seperti operasi plastik, dan jadilah Harimbi menjadi putri yang cantik. Dari rahim Harimbilah nantinya lahir cucu Dewi Kunti, Gatotkaca yang akan menjadi pahlawan Nusantara yang mendukung Pandawa dalam peperangan Bharatayuda.

Beberapa minggu sebelum perang Bharatayuda adalah hari puncak kegelisahan Dewi Kunti. Dia diberitahu Sri Krishna, bahwa Karna seorang adipati di Hastina sebenarnya adalah putranya yang sewaktu bayi dihanyutkan di Sungai Gangga. Sudah lama dia merasa ada getaran-getaran kasih seorang ibu kala melihat Adipati Karna. Dia merasakan kebahagiaan ketika Karna diberi gelar bangsawan dan diberikan tanah oleh Suyudana, Raja Hastina. Dewi Kunti selalu menyebut Suyudana, Yudana yang baik, tidak pernah menyebut Duryudana, Yudana yang jahat. Dalam diri seseorang pada hakikatnya adalah baik, kekotoran terjadi akibat nafsu yang membuat penampilan diri seseorang berlepotan kekotoran.

Ketika Adipati Karna melakukan persembahan di saat Sang Surya sedang tenggelam, Dewi Kunti menemuinya dan berbicara empat mata dengannya. Betapa tercabik-cabiknya hati Dewi Kunti, melihat putranya takut menerima kenyataan bahwa ibunya adalah seorang putri bangsawan yang terhormat. Dia melihat dalam diri Karna ada sifat kekesatriaan yang sama dengan Pandawa. Salah gaul dan salah lingkungan, itulah masalahnya…. dan sumbernya adalah dirinya juga yang sebagai seorang ibu tega menghanyutkan bayi Karna di Sungai Gangga dan tidak pernah memberikan kasih sayangnya. Perasaan Dewi Kunti bercampur-aduk, gelisah dan ada sedikit kebanggan sewaktu Karna berkata, 
“Ibunda, hamba tahu bahwa Pandawa berada di pihak yang benar, akan tetapi hamba juga yang mendukung Kanda Prabu Suyudana bersama Pamanda Shakuni menggunakan berbagai tipu muslihat untuk melenyapkan Pandawa. Mengapa hamba lakukan? Karena bagaimana pun hamba tahu bagaimana cara membalas budi kebaikan. Prabu Suyudana telah mengangkat derajat hamba dari seorang Sudra, putra angkat seorang kusir kereta menjadi seorang Kesatria. Bahkan hamba diberi jabatan adipati, dihadiahi tanah di Ngawangga dan dianugerahi istri saudara perempuan permaisurinya. Hamba akan berada dipihak Korawa. Yang setanding dengan hamba adalah Arjuna, biarkan kami bertempur dengannya, hamba tidak akan membunuh para Pandawa lainnya..”
Ketika kedua putranya, Arjuna dan Karna berperang tanding mewakili dua belah pihak dalam perang Bharatayuda, Dewi Kunti menenangkan dirinya, 
"..aku telah serahkan semuanya kepada Sri Krishna. Kalau ini merupakan pembayaran karmaku, aku terima Krishna. Aku pasrah terhadap-Mu.."
Beberapa bulan setelah perang Bharayuda usai, Dewi Kunti berkata kepada Putra-putranya, 
“Wahai putra-putraku.. Perjuangan menegakkan dharma telah berhasil kalian lakukan, Penerus Dinasti Bharata, Parikesit sudah lahir dengan selamat, masyarakat luas menunggu perbaikan tatanan sosial dari kalian. Aku telah mendampingi kalian diasaat-saat perjuangan menyelamatkan diri dari peristiwa kebakaran istana kayu, kala pertempuran dengan Bakasura dan Harimba, dan juga ikut mendukung kalian membangun Indraprasta. Ada saat berbahagia seperti saat upacara Rajasuya bagi Yudistira, ada saat penderitaan saat kalian kalah bermain dadu di Hastina. Aku juga telah mendampingi Drupadi saat mengalami pelecehan dan juga saat cucu-cucuku, semua putra Drupadi dibunuh Aswatama.. Anak-anakku, tugasku mendampingi kalian di saat yang diperlukan telah selesai. Swadharmaku sebagai seorang ibu sudah terselesaikan berkat berkah Sri Krishna.. Menikmati kenyamanan istana bukan dharmaku, aku sudah tua dan aku masih harus meneruskan perjalanan menuju Hyang Widhi. Aku akan menemani Ayunda Dewi Gendari mendekatkan diri pada Hyang Widhi.."
Dewi Kunti menghabiskan sisa hidupnya bersama Dewi Gendari dan Drestarastra di hutan di tepi sungai Gangga. Hidupnya semata-mata dipersembahkan kepada Hyang Widhi sampai pada suatu hari hutan tempat mereka bertapa terbakar habis yang membakar mereka semua yang sedang bertapa.

Dari penggalan cerita Dewi Kunti di atas dapat kita ketahui sifatnya yang sangat bertanggung jawab terhadap perbuatannya, namun tetap bisa menjadi seorang ibu yang dapat diandalkan anak-anaknya. Bila dihubungkan dengan karakter di masa kini, karakternya dapat dilihat mirip dengan tokoh masyarakat mantan menteri kesehatan RI Almarhumah Endang Rahayu Sedyaningsih.


dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR.PH
dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR.PH (lahir di Jakarta, 1 Februari 1955 – meninggal di Jakarta, 2 Mei 2012 pada umur 57 tahun) adalah Menteri Kesehatan pada Kabinet Indonesia Bersatu II yang menjabat sejak 22 Oktober 2009 hingga 30 April 2012. Sebelumnya beliau pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes. Beliau memperoleh gelar sarjana pada tahun 1979 dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan gelar magister dan doktor dari Harvard School of Public Health.

Beliau memulai karirnya pada tahun 1979 sebagai dokter di Rumah Sakit Pertamina Jakarta. Dia bergabung pada pelayanan kesehatan masyarakat pada tahun 1980 dan bekerja di daerah terpencil sebagai Kepala Puskesmas Waipare di Nusa Tenggara Timur selama tiga tahun. Pada tahun 1983, ia pindah ke Jakarta dan meneruskan bekerja dalam pelayanan kesehatan masyarakat di Dinas Kesehatan Provinsi Jakarta. Pada tahun 1997, dia bergabung dengan Badan Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dia bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian Pengendalian dan Pengembangan Program Penyakit, NIHRD untuk lebih dari satu dekade. Selama 6 bulan pada tahun 2001, dia menghabiskan waktunya dengan bekerja pada Kantor Pusat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa, Swiss. Ia diangkat sebagai Direktur Pusat Penelitian Biomedis dan Program Pengembangan, NIHRD pada tahun 2007. Pada bulan Oktober 2009, ia diangkat sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan bergabung dengan Kabinet Indonesia Bersatu jilid Dua. Pada tanggal 26 April 2012 ia mengundurkan diri dari posisinya sebagai Menteri Kesehatan karena kondisi kesehatan. Ia resmi diberhentikan pada tanggal 30 April 2012.

Ia bersuamikan Dr. Reanny Mamahit, SpOG, MM (Direktur RSUD Tangerang) dan memiliki dua putra dan satu putri. Putra pertama bernama Arinanda Wailan Mamahit, putra kedua bernama Awandha Raspati Mamahit, dan anak putri paling kecil bernama Rayinda Raumanen Mamahit. Pada tanggal 2 Mei 2012, beliau meninggal dunia karena kanker paru lanjut di usia 57 tahun di RSCM, sekitar pukul 11.41 WIB.

SUMBER:
http://id.wikipedia.org/wiki/Endang_Rahayu_Sedyaningsih
http://infopublik.org/media/Image/Data%20Foto%20Tokoh/Endang%20Sedyaningsih.jpg
http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/18/renungan-kebangsaan-dewi-kunti-perjuangan-seorang-ibu-mendampingi-para-putranya-menegakkan-dharma/ 
http://wayang.files.wordpress.com/2010/03/kunti.jpg?w=535

Tidak ada komentar:

Posting Komentar